Perkembangan psikologi islam di Indonesia
Psikologi Islam adalah satu pendekatan studi dalam memahami kejiwaan dan perilaku manusia yang berdasarkan konsep tauhid, dengan cara integrasi antara ilmu dan iman. Jangan sampai hati beriman kepada Allah tetapi cara atau pola berpikirnya tidak menopangnya. Artinya, kehadiran Psikologi Islam untuk mengintegrasikan pada semua hal. Karena sebagaimana diketahui, psikologi (sebagai disiplin ilmu) muncul bukan dari orang Islam tapi dari orang Barat dan karya-karya mereka telah banyak memberi kontribusi pada semua bidang kehidupan, sekalipun cara berpikirnya sekuler. Justru kehadiran psikologi Islam memberi nuansa transenden.
Bagaimana perkembangan psikologi Islam dalam pengamatan Anda?
Ketika psikologi sekuler digunakan untuk memahami perilaku umat Islam, maka akan terjadi banyak masalah. Psikologi dipahami bukan sebagi ilmu jiwa, tetapi saat ini dipahami sebagai ilmu perilaku organisme. Sementara dalam Islam, jika merujuk pada tokoh seperti Ibnu Sina, Ibnu Maskawaih dan al-Ghazali, psikologi merupakan bagian dari filsafat. Karena itu, dalam bahasa Arab, psikologi identik dengan ilmu nafs. Lantas, kenapa ilmu jiwa tidak menjadi bagian dari dalam psikologi modern, karena jiwa tidak bisa dipelajari. Sehingga di Barat, dengan pola berpikirnya yang positivistik itu tidak memasukkan jiwa sebagai bagian dari kajian psikologi, makannya psikologi dimaknai sebagai ilmu perilaku. Karena perilaku bisa dieksprimentasi dan eksplorasi secara empiris sedangkan jiwa tidak bisa. Itulah sejarah perkembangan Psikologi Islam, yang hadir untuk mengembalikan psikologi dari akarnya.
Apa perbedaan psikologi Islam terhadap ilmu psikologi? psikologi tidak dipandang sebagai ilmu jiwa tetapi sebagi ilmu perilaku, ada banyak eksperimen dalam psikologi yang menggunakan hewan sebagai objek penelitian. Karena hewan dinilai sebagai makhluk yang tidak berjiwa sebagai mana manusia. Lalu, ahli psikologi eksprimen pada pada binatang; anjing, monyet, kelinci, dan lain-lain yang hasil penelitiannya diterapkan untuk manusia. Dalam konteks ini saya kira tidak bisa dibenarkan karena dinamika manusia dan hewan itu berbeda, tidak sama persis.
Konon, ada sekolah hutan, sekolah hutan itu peserta didiknya terdiri dari tiga jenis; ada monyet, ikan, dan burung. Kurikulumnya berkisar loncat, renang dan terbang. Lalu dia membuat eksperimen untuk menerapkan kurikulum tersebut terhadap ketiga hewan itu. Lalu apa yang terjadi? Ternyata ikan yang biasa renang, diajari loncat dan renang, malah tidak optimal hasilnya, karena begitu ke darat ikan bisa mati. Burung yang biasa terbang, diajari renang dan sayapnya terkena air sehingga tidak bisa terbang lagi dan mati dimakan ikan piranha. Sedangkan monyet yang biasa loncat diajari terbang dan renang, lama kelamaan ia akan bermasalah karena bukan alamnya.
Kesimpulan dari eksperimen itu adalah didiklah anakmu sesuai dengan bakat aslinya. Memang kesimpulan ini tidak salah total, tetapi apa seperti itu. Mungkinkah dinamika hewan disamakan dengan manusia. Manusia itu unik, karena jika ia diajarkan 1, 2, sampai 10 kemudian dia bisa mengembangkan ke perkalian, pengurangan, penambahan, dan sebagainya, sedangkan hewan tidak bisa seperti itu. Walaupun manusia tidak bisa renang, dengan akalnya ia bisa menciptakan kapal selam. Manusia tidak bisa terbang, dengan akalnya bisa mengembangkan teknologi pesawat. Psikologi terlalu menyederhanakan keunikan manusia, bahkan metaempiris pun tidak dimasukkan menjadi bagiannya.
Sedangkan dalam Islam, jiwa bisa dipelajari. Allah menciptakan manusia juga menurunkan kitab suci. Dalam kitab suci itu banyak pembahasan tentang jiwa. Jiwa tidak harus diketahui melalui pendekatan empiris, tapi bisa juga dengan cara membaca buku panduan atau pedoman dalam teks al-Quran dan Sunnah. Filosofisnya seperti itu, jadi kenapa kemudian orang Islam itu perlu mengembangkan psikologi Islam.